Rabu, 27 Januari 2016

Menolak Rejeki, You Said? (Part 2)

January 2016. 2 months after (finalleehh...) the wedding.

Ya naw.. That moment when almost everybody, i repeat, EVERIBODEH, yg ketemu sama gue akan nanya "Udah isi belum?" atau yang sejenisnya.. You name it..

Pengennya sih jawab "Oh, ga lagi dikejar setoran buat produksi keturunan kok.."

Tapi you know, budaya timur, jawabnya harus santun ya kan.. Jadi biasanya akan jawab (sambil senyum manis),
"Belum nih.. Doain aja ya.."

Kalau setelah itu sudah selesai sih, yaudahlah ya.. Question has been answered.. We're done here..

TAPIIII... another budaya timur ya kan... ceritanya peduli.. memberikan wejangan, petuah, sharing aja dari pengalaman tetangga sebelah.. pasti ada aja yang memberikan pertanyaan berikutnya,

" Nunda hamil ya? ..... Jangan ditunda-tunda loh.. Nanti pas lagi pengen malah susah dapetnya.." ya, and another pertanyaan atau komentar sejenisnya..

Satu pernyataan yang paling judgemental dan menyebalkan dan sok tahu dan gitu deh..

"Kalau belum siap punya anak ngapain buru-buru nikah?"

You sure want me to elaborate?

1. Kenapa nunda?
Baca jawabannya di postingan part 1 yess.. (sekalian promoin postingan lama)

2. "Kalau belum siap punya anak ngapain buru-buru nikah?"
Tujuan utama kami menikah bukan untuk punya anak dan meneruskan keturunan sih. Tidak berarti ga mau punya keturunan juga. Cuma, itu bukan tujuan utamanya.

3. Terus tujuan utama nikah ngapain?
Mau tau aje ngana..

4. Terus kapan mau punya anaknya?
Nanti tunggu aja kabarnya di temlen ngana.. i pasti pamer kok..

5. Ga takut nanti pas udah pengen punya malah susah dapetnya?
Lah.. kok lo malah nyumpahin sih, juminten?!

Well, ini nih yang mau gue tantangin.. Katanya anak adalah rejeki dari Tuhan.. Kalau nunda punya anak berarti nolak rejeki katanya.. Nah, anak kan hadiah ya? Kalau belum dikasih, saya percaya Tuhan punya rencana lain. Saya percaya Tuhan akan siapkan di saat yang paling tepat. (Ciyeh relijius gituh)

Sambil menunggu hadiah itu saya dapatkan, saya mau membuat diri saya pantas menerima hadiah itu. Bagaimana caranya?

Dengan mematangkan diri emotionaly dan financially.

Kalian sering lihat ga banyak anak-anak kecil yang terlantar di pinggir jalan? Well, terlalu jauh mungkin. Sering ga lihat anak-anak yang bermasalah di sekolah atau di lingkungan masyarakat? Sering ga lihat anak usia SMP atau SD tapi bicaranya sangat tidak berpendidikan? Berbicara kasar dan tidak pantas? Menurut kalian itu kenapa?

KARENA ORANGTUANYA BELUM SIAP SECARA MENTAL DAN FINANSIAL TAPI UDAH BIKIN ANAK TANPA PERSIAPAN.

Orangtua jaman dulu ga pake persiapan gitu anaknya pada gede aja tuh.. baik-baik aja tuh..
Iya makanya karakter sebagian besar bangsanya kayak gini nih.. ketimuran.. full of bigotry.. ya kalo orangtuanya bisa mendidik dengan benar di kemudian hari sih ya syukur alhamdullilah puji Tuhan.. Kalo nggak? Ya anak-anak itu..

Anak-anak berprestasi tinggi, ranking 1, juara nasional, perwakilan daerah, juara dunia.. Tapi antri yang bener ga bisa. Buang sampah pada tempatnya aja malas. Ga bisa menempatkan diri di suasana yang berbeda. Ga bisa mengambil keputusan. Ga punya common senses.

Ya ga berarti nanti saya akan jadi orangtua paling sempurna juga sih, tapi yang kami ingin lakukan adalah meminimalisir resiko itu.

Masih bilang "Menolak rejeki"?

Yang tidak mensyukuri rejeki siapa?

Really? Sure?

Come on..

Senin, 22 Juni 2015

It is fine

It is okay not to be special
It is okay not to be the best
It is okay not to be the greatest

It is fine if you just like the others
It is fine to be mainstream
It is fine.. it is fine..

-B-
21/06/2015

Minggu, 21 Juni 2015

Miss Independent.. That's why I love her..

I just had a morning chat with my friend who live abroad.

Jadi ceritanya adalah...
Gue kagum banget sama temen gue ini.
Dia dari SMA udah dikirim sekolah di luar kota, sekarang pun living abroad.
Belajar hidup sendiri, tidak tergantung orangtua atau saudara,
Mengurus semua keperluan hidup sendiri, semua serba mandiri.

Dia bilang, waktu SMA rasanya emang berat banget ngejalaninnya.
Tapi pas udah kerja dan dewasa kayak sekarang akhirnya dia udah merasa terbiasa dan tidak pernah bermasalah dengan yang namanya business travel atau solo travel.

Semua saudara kandungnya sengaja dikirim ke luar kota atau ke luar negeri sejak SMA, 'dipaksa' untuk bisa hidup sendiri dan menjaga kepercayaan dan tanggung jawab dari orangtua.

"Tapi ga semua orang punya budget yang cukup untuk mengirimkan anaknya ke luar kota apalagi ke luar negeri untuk sekolah, Brenda.."

Ya, iya sih.. My parents too.. That's why I am here. Writing this not-so-short blogpost about independency.. (while i am nowhere near independent)

Kemandirian seorang anak pastinya banyak dipengaruhi oleh cara asuh dan didik orangtua. Kepercayaan dari orangtua yang akan sangat banyak membantu seorang anak untuk berkembang.

Apakah semua anak yg dikirim oleh orangtuanya ke luar kota/negeri akan menjadi anak yang mandiri? Ya nggak juga sih.. ada banyak faktor penentu selama perjalanan dari anak itu SMA hingga dia dewasa. Ga ada hukum mutlak, ga ada aturan baku yang bisa menjamin hasil akhir yang sempurna.

My point is... Orangtua juga harus belajar melepaskan anak.. Belajar percaya kalau anak itu bisa mengurus dirinya sendiri. Banyak contoh yang bisa gue temukan di sekeliling. Anak-anak usia SMA bahkan udah kuliah, tapi masih belum bisa apa-apa. Bisanya cuma belajar, ngerjain tugas atau peer, ngerjain ujian. Gitu-gitu aja. Tapi kalau disuruh mengambil keputusan, bergaul sama orang baru, atau bepergian sendiri ke luar rumah kemudian ga bisa apa-apa.

"Jamannya udah berubah Bren.. Sekarang udah ga seaman tahun 90an. Sekarang kriminalitas tinggi banget. Sebagai orangtua pasti waswas."

Well, kalau tentang kriminalitas, bukankah dimana aja bisa terjadi? Apakah kalau selalu ada di dekat orangtua bisa menjamin anaknya akan selalu aman? Kemudian sampai kapan orangtua mau melindungi si anak ini? Apakah orangtua juga akan selalu punya waktu 24/7 untuk menjaga si anak?

Really? Sure?

Come on..

Jumat, 19 Juni 2015

Menolak Rejeki, You Said?

Juni 2015. 5 bulan lagi menjelang hari H.

How’s the wedding preparation?”
“Mau honeymoon kemana?”
“Nanti abis nikah tinggal dimana?”
“Abis itu langsung punya anak?”
“Loh, kenapa ditunda-tunda? Ga baik loh menolak rejeki dari Tuhan?”

Urutan pertanyaan yang belakangan ini sering banget gue terima. Mulai dari yang normal sampai yang paling nyebelin, judgemental, dan sok ngatur. It is not that I do not like it when people care about me. But some people need to know the boundaries.

I do believe people have their own standards, their own values, and their own plan. I will roll with my plans, and so do you with your plans.

Our community used to think that it’s okay for them to intervene other people’s plans for the sake of “Maksud gue kan baik”, “Kami mau yang terbaik untuk kamu”, and so the list goes. But trust me people, your own standard of happiness do not always apply the same on other people. Someone can happily live his/her newly wed life in a small apartment rent in the center of Jakarta with the crazy traffic jam everyday, while some people live happily in the countryside, or some people need to travel around the world and go wanderlusting to find their happiness. See? It’s different, right?

And so with my plans. Trust me, my standard of “Live life happily ever after” with my husband to be could be very different with yours. Your plans might be: have a spectacular and elegant wedding party, go to EU for your honeymoon, three months after that you find out that you are pregnant (horray, congratulations!), breeding without calculating how are you going to feed them well  and yeah, whatever your plan is. 

But my fiance and I, we want to go to some places, certain beautiful places, which maybe you find it not beautiful at all. We want to do this and that, which i think it is not that important to share it here (trust me you don’t wanna know what’s the list). To make those plans come true, I need to manage many things. Including my breeding schedule.

Thank God, I have supportive parents who understand that me n my fiance want to do certain things before we finally have to settle down, lowering our pace, and preparing the newly born baby and all it’s fuss. Mom said, “Yang nanti akan bangun jam 2 pagi buat menyusui dan ganti popok itu kamu, bukan mami,” and, “Yang nanti harus beliin susu, ngasih makan, dan menyekolahkan itu kamu.”

So, ya, my mom understand it very well, that I am not ready enough to be a mother. That’s not my ultimate life goal. And if I am not ready yet, it is fine. Because you know, having a child is more than that. It is more than ‘rejeki dari Tuhan’, ‘bukti cinta’, ‘meneruskan keturunan’. Human and their narcissistic behaviour. 

Henry Manampiring, my favorite Om from #OmOmUnite, the writer of “Cinta Tidak Harus Mati”, said this, “Adakah yang dirugikan jika kamu tidak mau punya anak? Justru punya anak itu egois, karena memaksa seorang manusia untuk hadir di dunia ini padahal dia tidak memintanya. Apa enaknya sih lahir di dunia kejam dan tidak fair ini? Sekali lagi, seorang anak lahir di dunia karena ambisi orangtuanya, bukan atas permintaannya sendiri.”

He added, “Kalau kamu tidak bahagia dengan menikah atau punya anak, jangan dipaksakan hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Menikah dan punya anaklah karena kamu merasa siap dan merasa sukacita melakukannya.”

So, people, i would like to say thank you for your concern, but... really, tidak usah memaksakan cara pandang kamu mengenai kehidupan, pernikahan, bla bla bla ke semua orang, as if itu yang paling benar. We have different way. 

Selasa, 22 Juli 2014

You Can't Defeat People Power

Pejabat-pejabat korup dan pelaku-pelaku suap bersatu dengan koruptor-koruptor kelas kakap
Berusaha sekuat tenaga mengumpulkan segala daya upaya untuk menutup mulut orang-orang pemerintahan yang haus akan uang
Membutakan pengikut-pengikutnya yang bodoh dan berwawasan selebar daun kelor

Tapi kami tidak buta,
Kami tidak bodoh,
Kami tidak rakus akan uang-uang kotor kalian.

Dan uang kotor kalian tidak akan cukup untuk membendung kekuatan kami.
Kalian boleh berupaya mati-matian.
Tapi ingat:
YOU CAN'T DEFEAT PEOPLE POWER!

Karna Tuhan dan kami mencatat itu. Mencatat semua kebusukan-kebusukan kalian!

Sabtu, 26 Oktober 2013

Forgive and Learn from the mistakes

Gue ga suka dengan orang yang ga punya rasa tanggung jawab. Well, siapa juga sih yang suka orang kayak gitu?

Gue ga suka orang yang ignorant, pura-pura ga peduli (terlebih pada hal yang seharusnya dijadikan perhatian dan prioritas). Terlebih lagi gue benci sama orang yang ga bisa mengatur diri, menerapkan prioritas, dan terlebih lagi yang malas. Bagi gue, orang-orng kayak gitu mengganggu.

Selalu dituntut sempurna. Kadang itu bagus. Kadang itu menyebalkan. Tepatnya, itu melelahkan. Nobody's perfect. I know.

Gue selalu berusaha untuk selalu membuat segala sesuatu sempurna. Ga bisa untuk semua orang. Tentu. Tapi paling nggak, sempurna di mata gue. Dan pada saat gue menemukan ada orang yang cepat puas dengan keadaan dan seperti tidak mau berusaha semaksimal mungkin, tentu itu mengganggu penyakit OCD gue ini.

Tapi kemudian gue dihadapkan pada suatu keadaan, bukan hanya sekali, tetapi dua kali. Dimana gue menjadi seseorang yang ga berusaha semaksimal mungkin. Jadi orang yang cepat puas. Jadi orang yang menggampangkan. Dan gue merasa malu (pada diri sendiri, tentunya) dan bersalah.

Merasa malu karena gue terlalu tinggi hati. Menganggap gue sudah maksimal, padahal belum.
Merasa bersalah, karena gue bisa benci banget sama tipe orang kayak gini, tapi gue sendiri juga jadi seperti itu.

Kemudian gue belajar melihat sisi yang lain....
Mungkin orang yang gue benci itu juga sebenarnya sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi hasilnya memang masih belum cukup memuaskan gue.

Mungkin orang itu juga sibuk dan ga punya waktu. Bukan tidak bisa memanajemen diri dan membuat prioritas. Tetapi ada banyak hal yang harus diprioritaskan, sehingga mana yang harus diprioritaskan pun jadi semakin rancu. Mana yang harus didahulukan dari yang mana.

Mungkin orang itu bukannya ga mau membantu dan ga peduli. Mungkin ia bingung. Mungkin ia juga mau menolong, tetapi bingung mana yang harus dibantu.

dan....

Mungkin gue juga harus berdamai dengan diri sendiri. Tingkat kedewasaan dan kebijaksanaan seseorang tidak dinilai dari seberapa hebat dia mengerjakan sesuatu sendirian ataupun dari kritik dan keluhan yang dia bicarakan setiap hari. Tapi dari kemampuan dia menyadari kesalahan, memaafkan, dan belajar dari kesalahan tersebut. Supaya tidak salah untuk kedua kali.

Mungkin gue juga harusnya sadar. Ga semua orang selalu benar. Pasti ada salahnya. Ga semua orang jahat, pasti ada baiknya juga. Ga semua orang harus sempurna, kadang kurang sempurna bisa memacu kita untuk memperbaiki keadaan dan menjadikanya lebih baik lagi. Ga semua hal harus dibawa stress.

Yang penting memang selalu 3 T:
Tahu tempat, Tahu diri, dan Tahu waktu. Thanks to Bu Arini (my highschool teacher)

dan.. terima kasih kamu.. selalu setia mendengar keluhan aku. :*


Rabu, 30 Januari 2013

and the rain's keep falling...



The rain's keep falling
Everyone's keep talking
Nobody's listening
and why can't I Stop crying?

Wonder if you think of me?
Wonder if you care?

Why couldn't I forget you?

why wouldn't you see me?

you wont care
you wont share

you never ask me
if i love you too..

and the rain's keep falling
and we're keep fighting

-Bi-
18/1